Sebelumnya hanya Bali, satu-satunya pulau di Indonesia yang pernah saya kunjungi di luar pulau Jawa. Di Bali saya merasa, budaya dan karakteristik masyarakatnya masih ada kemiripan dengan yang ada di Jawa. Mungkin karena sebagian penduduk Bali dulunya adalah orang-orang Jawa Majapahit yang berpindah ke sana.
Perjalanan ke Kalimantan ini, adalah perjalanan pertama kalinya saya ke tempat yang harusnya berbeda sama sekali baik dari adat, budaya dan karakteristik masyarakatnya. Terlebih sebelumnya, saya sudah mendapat beberapa gambaran yang mencitrakan bagaimana karakter masyarakat Kalimantan itu.
Saya berangkat bersama beberapa teman kerja ke Banjarmasin, Kalimantan Selatan via udara dan mendarat di Bandara Syamsudin Noor. Dari Banjarmasin, saya melanjutkan perjalanan menggunakan transportasi darat menuju Martapura. Martapura sendiri adalah nama Kecamatan yang sekaligus menjadi ibukota Kabupaten Banjar, jaraknya sekitar 40 KM dari Banjarmasin.
Mendengar Martapura, saya langsung mengaitkannya dengan intan dan rupa-rupa batu permata. apalagi waktu itu “demam batu” sedang melanda. Kota ini menjadi ibukota terakhir Kesultanan Banjar yang di masa jayanya, wilayahnya membentang dari Tanjung Sambar, Kalimantan Barat sampai ke Tanjung Aru di Kalimantan Timur.
Dalam masa kunjungan yang sempit, hanya sejak Sabtu sore sampai dengan Minggu malam kami free, saya ingin meluangkan waktu untuk melihat-lihat objek wisata di sini. Setelah searching dan bertanya ke orang setempat, beberapa obyek wisata yang bisa kami kunjungi adalah: Soto Banjar Anang, Pasar Apung, Pulau Kembang dan Pasar Intan Martapura.
Daftar Isi Artikel
Obyek Wisata di Martapura
Soto Banjar Anang Martapura

kompasiana.com, kulineran.blogspot.co.id
“Sotonya Anang yang penyanyi itu?” begitu tanya saya ketika salah satu rekan merekomendasikan kami untuk mencoba soto ini. Bukan milik Anang suaminya Ashanty ya, ini adalah soto banjar yang menjadi andalan kuliner Martapura. Kebetulan saja nama pemiliknya juga Anang. Soto Banjar ini dihidangkan dalam piring dengan telur bebek, bihun dan suwiran daging ayam.
Mungkin soal selera, namun lidah saya tidak terlalu cocok dengan sotonya. Dibilang soto tapi penyajiannya di piring dengan kuah dan nasi yang sudah bercampur. Sebenarnya lebih mirip sop kan? Tapi lumayanlah buat jadi penghangat perut di tengah cuaca yang sedang mendung.
Pasar Terapung di Sungai Barito
Masih ingat adegan iklan RCTI? ada ramai orang naik perahu-perahu kecil membawa sayur dan dagangan lainnya, lalu ending-nya salah satu ibu di perahu itu tersenyum dan mengacungkan ibu jari tangannya?
Ternyata lokasi iklan yang memorable itu ada di sini, pasar terapung sungai Barito. Untuk menuju ke sana, kami berangkat sebelum subuh saat mata masih kriyep-kriyep ke arah Masjid Bersejarah Sultan Suriansyah (nama sultan pertama Kesultanan Banjar). Dari sana nanti titik keberangkatan perahu yang telah kami pesan untuk menyusuri sungai Barito.
Seusai sholat berjama’ah, kami segera ke dermaga kecil di depan masjid, tempat warga lokal yang menawarkan jasa sewa perahu berada. Setelah memastikan lagi soal harga, kami segera naik dan perahu pun berangkat.
Gerak perahu membawa kami menyusur lurus ke arah selatan. Suasana subuh yang syahdu dan segar memberi kesan yang berbeda. Di tepian sungai tampak rumah-rumah warga yang mulai hidup. Para penghuninya akan segera memulai hari. Suara-suara mengaji masih terdengar dari kejauhan.
Fajar semakin meninggi, remang pagi semakin tersingkap. Terlihat semakin jelas ramai sungai Barito. Rupanya kami telah sampai di pasar apung. Perahu, kapal berukuran sedang, sampai kapal tongkang hilir mudik. Begini rupanya geliat transportasi sungai yang di Jawa akan susah ditemui.
Orang-orang berperahu kecil dan sedang, membawa pisang, sayuran dan hasil bumi lainnya. Dijajakan pula hasil kerajinan tangan lokal. Bermacam makanan pun disajikan: pisang goreng, ketupat, nasi serta teh dan kopi hangat. Para pedagang pasar apung ini, begitu bersemangat dengan keterbatasannya. Mereka saling tawar dan mengajak barter dagangan di atas perahu yang mereka dayung. Selalu tersenyum walaupun jualannya ditolak, dan dengan riang menghampiri perahu lain untuk sekali lagi mencoba menawarkan dagangannya.
Ketika hari semakin terang, perahu kami mulai bergerak menjauh keluar pasar, menuju tempat berikutnya.
Pulau Kembang
“Kenapa kami perlu ke sana Pak?”
“Karena di sana banyak monyet. Dimana-mana monyet.”
“Ok Pak, apakah kita akan ke dunia Planet of The Apes?”
Abaikan percakapan random di atas ya. Intinya kami akan menuju ke pulau yang antara nama dan realitasnya berbeda. Pulau dengan nama Kembang, tapi isinya monyet-monyet dalam segala ukuran.
Berawal dari keinginan untuk tidak menyiakan hari libur, kami bertanya pada Pak motoris perahu tentang objek wisata lain yang bisa dijangkau dari lokasi pasar apung. Dan jawabannya adalah Pulau Kembang. Perjalanan memakan waktu kurang lebih 30 menit.

google images
Dari kejauhan sudah terlihat perahu-perahu berpenumpang lain yang menuju ke pulau itu. Dan benar, di dermaga pulau sudah menunggu ratusan monyet. Mereka agresif dan berisik. Begitu terlihat penumpang turun sambil membawa tentengan plastik, langsung mereka serbu! Banyak ibu-ibu menjerit karena kaget dan takut dengan ulah para monyet ini. Yang bikin saya ngeri adalah monyet-monyet seukuran bayi manusia yang terlihat mencolok diantara teman-teman mungilnya. Dan gigi taringnya juga lebih panjang. Kayaknya mereka semacam preman pulau ini. Mereka mengaum dan noyor-noyorin monyet mungil yang membawa makanan rampasan dari pengunjung pulau, merebut makanannya. Dan dengan coolnya makan di depan korban pemalakan. Bener-bener mirip Planet of The Apes.
Selain monyet, di pulau ini terdapat hutan lindung mini dan kuil Hanoman. Menariknya, sejarah pulau ini belum diketahui pasti. Asal-usul monyet, pendirian kuil dan tujuannya belum jelas. Juga ada semacam pondok kayu tua yang tidak terawat, yang kata pemandu lokal adalah tempat untuk memandikan anak-anak warga yang sakit. Tapi tetap, misterius sejarahnya.
Kami pun pulang di tengah hari, bersiap kembali ke kota.
Pasar Intan Martapura
Nah, objek wisata berikutnya tidak boleh dilewatkan setiap orang yang berkunjung ke Martapura. Pokoknya belum disebut pernah ke Martapura kalau belum ke sini: Pasar Intan Martapura.

pusakaindonesia.org
Di pasar ini kita bisa memilih segala batu-batu dalam berbagai bentuk: kalung, gelang, cincin dsb. Ada 4 blok di pasar ini, dan di blok utama terdapat 2 lantai. Lantai dasar blok adalah tempat toko-toko yang menjual batu permata yang sudah jadi dengan pengikatnya. Sedangkan di lantai 2 adalah tempat lapak-lapak penjual batu permata yang masih terpisah dari pengikatnya. Beruntung saat kami ke sana pengunjungnya tidak begitu banyak, malah cenderung sepi. Hanya 1-2 toko tertentu yang ramai pengunjung.
Seperti yang disampaikan di awal, perjalanan ke Martapura adalah perjalanan pertama saya ke Kalimantan. Gambaran saya sebelumnya tentang orang Kalimantan belum terbukti. Selama 11 hari saya di sana, orang-orang Martapura santun, ramah dan relijius. Dan alamnya kaya luar biasa. Bahkan beberapa orang yang saya temui di sini berasal dari Pulau Jawa–Sunda, Jakarta dan Jawa Tengah–merasa betah dan memilih menjadi penduduk tetap di sini.
Saya pun berharap semoga di lain waktu bisa kembali berwisata ke Kalimantan, menyusuri tempat-tempat baru yang lebih menarik lagi!
Halo mas yoga, senangnyaaa baca tulisan ini. Nama perahu yg bawa mas yoga disebutnya klotok. Hihi. Terus kalo kesana lagi, kekampung lala ya. Kita ke loksadu nanti. 😀
Loksadu itu apa Lalak? Ad lomba balap klotok juga gak?
Iniii.. Lokasi settingnya “Aku dan Sepucuk Angpau” bukan siehh??
Slama baca novel itu, visualisasiku tuh ini banget yg difoto2 mas Yoga.. Perasaan di novel itu juga ada satu istana di pinggiran hulu sungai..
Hmmm De Ja Vu!!!
Itu monyetnya galak2 ga mas Yoga? I love monkey 🐵🐒🐵
Betewe bacanya ngalir nihhh srasa on the spot disana…
tetap bintang utamanya adalah pasar apung yang sangat fenomenal itu (terutama untuk generasi 90an) yang begitu familiar dengan adegan nenek mengacungkan jempol di atas perahunya
iya karena yang di sini kan beneran bukan buatan agar dilihat oleh turis, beda dengan yang di thai yang sebelas dua belas sama floating market di bandung
Yup INDONESIA tuhh eksotiss klo Pemdanya udh mulai peduli lingkungan dan rakyat.
Bekasi aja udah makin kece skrg krna pemdanya peduli.. Lh promosi Bekasi 😂
Kalau baca kata Kalimantan dalam bayangan gw film Anaconda. Hutan hujan tropis yang sinar mataharinya ketutup dedaunan 😀
Pingback: Mengapa Ribut Hanya Karena Beda Selera?