Judul Buku: Mencari Bening Mata Air, Renungan A. Mustofa Bisri
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Tahun Terbit: Agustus, 2009
Kota Terbit: Jakarta
Jumlah Halaman: viii+152 halaman
Titik-Titik Hujan
Titik-titik hujan terus
Mengetuk-ngetuk malam dinginku
Mengabarkan kesedihan langit
Sekali-kali kulihat kilat
Matanya yang geram tajam
Menyeruak pekat
Seperti mencariku hendak menikam
Hatiku yang kecil kecut
Kupeluk diriku kencang-kencang
Dalam gigil yang semakin dahsyat
Tuhan, selimutilah aku
Dengan rahmatMu.
Puisi diatas adalah pembuka buku ini, tepat diletakkan pada halaman pertama buku. Seperti keterangan dalam pengantar dari penerbit, semua materi dalam buku ini, baik itu tulisan materi buku, puisi, kata mutiara dan kaligrafi adalah karya dari K.H. A. Mustofa Bisri atau yang biasa dipanggil sebagai Gus Mus. Beliau memang sudah dikenal sebagai Kiai Ulama yang budayawan, banyak karya beliau yang berupa sastra puisi maupun buku tentang ilmu agama.
Isi buku ini diambil dari tulisan-tulisan beliau di GusMus.net. Terdiri dari berbagai bab mulai dari teladan Nabi Muhammad, keutamaan Al Qur’an, puasa, zakat fitrah, tradisi Lebaran, tasawuf-sufi dan lainnya. Tapi saya tertarik untuk mengambil pelajaran dari bab yang bertema keseimbangan, berlaku moderat dan adil dalam kehidupan.
Dalam bab Fid-Dunya Hasanah Wafil-Akhirati Hasanah, beliau menyinggung tentang pembangunan. Tidak disebutkan dengan jelas pembangunan apa yang dimaksud,-apakah pembangunan negara atau lainnya- tapi saya artikan sebagaipembangunan manusia. Beliau seperti ingin menanyakan ulang tentang makna dari keseimbangan pembangunan material (dunia) dan pembangunan spiritual (akhirat).
Kita tentu akan dengan mudah menemukan alasan rasional atau dalil ‘aqli tentang pentingnya manusia mengejar kepentingan material. Tetapi bagaimana dengan dalil naqli-nya (landasan agama)? Untuk kepentingan spiritual mungkin mudah mencari dalil naqli. Tapi adakah dalil naqli yang dapat kita temukan untuk membangun atau mengejar kepentingan materi?
Maka, beliau menggunakan potongan kalimah doa Fid-Dunya Hasanah Wafil-Akhirati Hasanah sebagai judul bab. Dan beliau juga menyitir hadis populer yang berarti “ Beramallah kamu untuk duniamu seolah-olah kamu akan hidup abadi dan beramallah kamu untuk akhiratmu seolah-olah kamu akan mati besok pagi”. Tentu sudah banyak kita tahu bahwa tafsir kebanyakan yang dikenal masyarakat dari hadis ini adalah anjuran untuk giat bekerja demi kesejahteraan di dunia dan giat beramal demi kebahagiaan di akhirat. Tapi beliau punya pemikiran lain untuk hadis ini. Misalnya, kenapa tidak dipahami menjadi karena kita akan hidup abadi, jadi tak usah ngongso dan ngoyo, tak perlu ngotot. Sebaliknya untuk akhiratmu, karena kamu akan mati besok pagi, bergegaslah.
Bab ini ditutup dengan kalimat yang sangat menggelitik diri: “Memang repotnya, kini kita sepertinya sudah terbiasa berkepentingan dulu sebelum melihat dalil, dan bukan sebaliknya.”
Hidup
-termasuk dalam beragama-
Secara tidak berlebihan
(tawassuth, sakmadiyo)
Adalah kunci agar kita bisa berpikir dan bersikap adil
Dan istiqamah.
Berikutnya dalam bab Tawassuth dan Tatharruf, beliau membahas mengenai umat Islam yang harusnya menjadi umat yang tengah-tengah, yaitu moderat yang tegas dalam pendirian. Karena dengan sikap moderat yang tegas akan mempermudah kita untuk berlaku adil dan istiqamah. Perilaku yang berlawanan dengan tawassuth atau moderat adalah tatharruf, yaitu sikap ekstrem dalam bersikap dan berperilaku. Misalnya seperti berlebihan dalam mencintai atau membenci yang menyebabkan tidak bisa adil dan obyektif; berlebihan dalam menyenangi dunia yang menyebabkan kita lupa pada kepentingan akhirat; bahkan berlebihan dalam beribadah yang dapat menyebabkan bosan dan tidak istiqamah.
Beliau menyebutkan dalam bab ini, apakah karena perilaku manusia yang lebih cenderung dengan tatharruf ini sehingga banyak kita lihat atau alami, banyaknya pertumpahan darah antar manusia? Seperti dalam cuplikan QS. 6:65 yang artinya “…mengacaukan kalian dalam kelompok-kelompok fanatik yang berseberangan lalu menciptakan keganasan sebagian kalian kepada sebagian yang lain…”.
Akhirnya, dalam bab Sederhana dan Berlebihan, beliau menyebutkan bahwa sikap sederhana adalah sikap tengah yang sangat dianjurkan oleh Islam. Tapi, sikap sederhana ternyata tidak sederhana. Sikap hidup sederhana tidak sesederhana menasihatkannya. Kebalikannya sikap sederhana adalah sikap berlebih-lebihan. Sikap berlebih-lebihan akan menimbulkan masalah yang telah menjerumuskan banyak kaum dalam bencana.
Meskipun bersikap sederhana itu tidak sederhana, tapi kita harus melakukannya agar bisa berlaku adil dan istiqamah. Dua hal yang menjadi kunci kebahagiaan dan kedamaian dunia akhirat.